Kesalehan Ritual Dan Kesalehan Sosial - Celotehan Warung Kopi

Memahami Prilaku Keagamaan Umat Tentang Kesalehan Ritual Dan Kesalehan Sosial


KESALEHAN RITUAL DAN KESALEHAN SOSIAL
Kedua istilah yang menjadi tema tulisan ini, yakni saleh ritual dan saleh sosial, muncul untuk memberikan penamaan terhadap tipologi sikap dan perilaku keagamaan umat yang boleh dikatakan tidak utuh, parsial. Seperti narasi di atas, kesalehan ritual merupakan jenis kesalehan yang ukurannya ditentukan berdasarkan seberapa taat seseorang menjalankan salat lima waktu, seberapa panjang zikir-zikir sesudah salat, dan seberapa sering salat sunat ia lakukan. Pokoknya kesalehan dalam jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba legal formal sebagaimana kata ajaran. Dan biasanya, orang yang memiliki perilaku ini merasa memiliki otoritas buat menilai kredibilitas moral orang lain, ia menjadi semacam tim pemeriksa dan penilai keimanan orang lain.

Sementara itu kesalehan sosial merupakan bentuk kesalehan yang lebih ditentukan oleh kehidupan praktis seseorang, seberapa banyak kegiatan-kegiatan sosial yang ia lakukan, seberapa jauh rasa toleransi, kepedulian terhadap sesama, cinta kasih, harga-menghargai, dan perilaku lainnya yang berdimensi sosial. Kesalehan sosial memandang bahwa kesalehan tidak ditentukan oleh doa-doa, zikir-zikir, dan ritualitas keagamaan lainnya yang lebih mengesankan sikap hidup egoistis, tetapi kesalehan itu ada pada perwujudan, manifestasi dan apresiasi keimanan dalam praksis sosial. Dalam bentuknya yang lebih ekstrim, kesalehan sosial ini kadang menafikan keimanan dan legal formal agama tetapi mereka aktif dalam kegiatan kemanusiaan dan kegiatan-kegiatan sosial, prilaku demikian dikatakan oleh Nurcholis sebagai “kesalehan sosial tanpa iman” (piety without faith).

Kedua tipologi kesalehan di atas hadir dalam praktis kehidupan keagamaan umat dan menjadi wacana serta diskursus dalam diskusi dan forum-forum ilmiah untuk mendapatkan gambaran antara realitas dengan pesan moral-ideal agama.

Kesalehan Ritual

Diantara kedua kesalehan di atas, kesalehan dalam bentuk pertama sering diapresiasikan oleh sebagian besar umat, sebuah sikap dan perilaku keagamaan yang parsial, egoistis dan individualistik. Orang lebih bersemangat menjalankan sebagian ibadah-ibadah sunnah seperti zikir, salat, puasa, dll. dari pada ibadah-ibadah sosial seperti mengurus kepentingan umum, bersilaturrahmi, membantu kesulitan tetangga, dan menyelesaikan problem kemiskinan. Orang merasa lebih beragama dibanding yang lain jika telah memperhatikan aspek simbol-simbol (syiar) keagamaan, kuantitas dan masalah-masalah furu’ seperti memelihara jenggot, membangun masjid. Tetapi mereka hampir tidak mempedulikan terhadap persoalan-persoalan subtansial, esensial dan kualitas masyarakat. Orang lebih memprioritaskan ibadah haji thathawwu” (haji kedua dst) dari pada membiayai anak tetangga yang hampir putus sekolah karena tidak dapat membayar SPP, atau orang lebih suka meng-haji-kan orang miskin yang belum mempunyai tempat tinggal daripada membantunya agar mempunyai rumah, dan seterusnya.

Dalam perspektif syariah, Qardlawi ((1995) juga melihat praktek-praktek keagamaan di berbagai negara muslim yang dinilai: (1) mementingkan hal-hal yang bersifat simbul (syiar) daripada yang subtansial; (2) memperhatikan hal-hal yang bersifat kuantitatif dan artifisial daripada yang bersifat kualitatif dan esensial; (3) mendahulukan pembentukan apa yang kita sebut ‘kesalehan individual’ daripada ‘kesalehan sosial’; (4) memprioritaskan tuntutan-tuntutan subyektif, kelompok dan golongan daripada tuntutan-tuntutan obyektifitas, masyarakat, nasional, dan dunia Islam; (5) menonjolkan pemikiran-pemikiran keagamaan skolastik dan dialektik daripada pemikiran empirik dan praktis.

Kesalehan Sosial

Kesalehan sosial, sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan anti tesis dari perilaku dan pemahaman keagamaan umat yang mengarah pada simbolis ritual-partikularistik. Istilah kesalehan sosial juga menjadi wacana yang relatif baru seiring dengan isu seputar universalitas, kemajemukan dan pluralisme budaya dan agama. Perdebatan yang muncul ke permukaan, misalnya pertanyaan “apakah semua agama itu sama ?”, “adakah titik temu antara suatu ajaran agama tertentu dengan agama-agama lain di dunia ?”. Bahwa setiap agama dipahami mempunyai dua dimensi antara esoteris dan eksoteris, antara simbolik dan nilai-nilai yang dianggap esensi dan hakiki. Dan juga telah dipahami bahwa dalam wilayah eksoteris-historis keberbedaan itu ada, tetapi pada wilayah esoteris setiap agama menawarkan pesan perdamaian dan keselamatan, keadilan sosial dan cinta kasih”. Dalam wilayah inilah agama dipahami memiliki kesamaan (kalimatun sawa’). Bahkan menurut perspektif teologi inklusif, kesamaan itu juga ada pada wilayah tauhid, bahwa seluruh isi al-Qur’an dan kitab suci sebelumnya adalah pesan Tuhan. Pesan-pesan tersebut menegaskan bahwa perintah Tuhan itu sama untuk pengikut Muhammad saw. dan mereka yang menerima kitab suci Muhammad saw, yaitu pesan yang berisi untuk selalu taqwa kepada Allah.

Implikasi perdebatan di atas, bagi kalangan muslim tertentu (misalnya mahasiswa) yang memiliki pemikiran yang agak liberal, adalah munculnya pandangan dan sikap bahwa esensi ajaran agama itu lebih penting dari simbol-simbol agama, bahwa nilai-nilai hakiki itulah yang harus dijalankan bukan ajaran yang berupa legal formal, sebab itu mereka kadang memiliki sikap dan perilaku keagamaan yang mementingkan pesan moral agama berupa perdamaian, toleransi, kerja sosial dan perilaku lain yang mengarah pada pemupukan saleh sosial, tetapi pada dimensi lain mereka kadang menafikan ritualitas keagamaan, seperti tidak menjalankan salat, puasa, haji, dan seterusnya. Impliksi yang lebih parah lagi ketika mereka menafikan kedua-duanya, perdebatan seputar universalitas dan pluralitas hanya memunculkan arogansi dan liberalisasi pemikiran semata dan tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran hakiki. Meskipun dimaksudkan untuk mencari kebenaran itu, tetapi hanya dalam bentuk wacana, karena pada saat bersamaan tidak ada follow up berupa sikap dan tindakan. (sumber : makalah "KESALEHAN RITUAL DAN KESALEHAN SOSIAL")

No comments:

Post a Comment

NO SARA NO SPAM. THANX