Telaah atas Ralitas Peran Politik Elit Agama
Kini dan yang akan Datang
Oleh : Prof. Dr. H. Imam Suprayogo
Dalam perkembangan politik di tanah air belakangan ini, di satu pihak terlihat luapan partisipasi politik di kalangan umat dan elite agama (Islam) yang kental membawa agama beserta ayat-ayat dalam menyuarakan aspirasi politiknya. Sementara di pihak lain, terdapat kecenderungan pada sebagian pemimpin agama dan politik untuk memisahkan peran dan fungsi agama dari urusan politik sehingga seringkali memunculkan imbauan agar tokoh politik tidak melibatkan agama dalam politik praktis.
Apakah pandangan dan kecenderungan yang disebutkan terakhir itu memiliki relevansi jika dilihat dari kaca mata sosiologi dan dari sisi normative Islam? Bukankah peran elit agama dalam kiprah sosial politiknya paling nyata dan signifikan sepanjang masa?
Menggambarkan elit agama pada saat sekarang ini bukanlah pekerjaan yang gampang. Sebab, mereka yang tergolong elit agama dewasa ini tidaklah tunggal dan homogin, melainkan amat variatif. Dilihat dari sisi latar belakang pendidikan mereka, terdapat elit agama yang lahir dari lembaga pendidikan pondok pesantren, perguruan tinggi agama seperti IAIN, STAIN, atau PTAIS, perguruan tinggi umum, dan bahkan juga berlatar belakang pendidikan ganda, yaitu lulusan pondok pesantren sekaligus pendidikan tinggi agama atau umum. Dilihat dari pekerjaan, ada yang bekerja sebagai petani, pedagang, pegawai negeri dan bahkan juga sebagai pejabat pemerintah. Dilihat dari segi partisipasi politiknya, terdapat elit agama yang menjadi aktifis politik di berbagai parpol , ada pula yang menempatkan diri sekedar sebagai pengamat, dan bahkan banyak pula elit agama yang tidak peduli pada dunia politik. Bagi mereka yang aktif dalam politikpun cukup variatif, ada yang berada pada organisasi politik Islam, dan ada juga yang berada di organisasi politik yang tidak menggunakan identitas agama. Selain itu, terdapat elit agama yang dekat penguasa, dan ada pula yang mengambil posisi berjauhan.
Perbedaan latar belakang dari berbagai sudut tersebut menjadikan mereka seringkali tampil berbeda dalam menghadapi problem, termasuk juga dalam problem-problem politik. Oleh karena itu, tidaklah terlalu ganjil jika sebuah seruan untuk menjaga persatuan tidak saja muncul dari elit agama kepada umatnya, melainkan juga dari dan untuk elit agama itu sendiri. Sebagai contoh, akhir-akhir ini sering muncul suatu seruan agar para elit agama tidak menggunakan ayat-ayat kitab suci untuk kepentingan politik.
Variasi elit agama sebagaimana dideskripsikan itu tidak mudah bagi siapapun yang ingin memahaminya yang kemudian tidak jarang melahirkan perdebatan, yang paling serius, misalnya, apakah mereka selayaknya ikut serta aktif dalam politik ataukah tidak. Perdebatan itu sesungguhnya telah cukup lama terjadi. Sebagian pihak berpandangan bahwa elit agama seharusnya cukup berperan sebagai pengayom umat, terutama dalam kehidupan beragama. Elit agama dianggap lebih tepat jika menghindarkan diri dari kegiatan Politik. Sebaiknya, ada pula yang berpandangan bahwa berpolitik merupakan bagian dari kehidupan agama itu sendiri, sehingga tidak mengapa mereka ikut ambil bagian dalam poitik.
Perdebatan tentang posisi elit agama sesungguhnya tidak saja dalam lingkup politik praktis, melainkan juga dalam konteks perubahan sosial. Geertz (1960:220-249) misalnya, menyatakan bahwa elit agama tidak memberikan apa-apa terhadap gerakan politik. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Deliar Noer. Ia mengatakan bahwa gerakan politik lebih banyak diserahkan kepada kalangan adat dan priyayi. Bahkan ia menilai, kelompok elit agama ini amat pasif dalam menentang penjajah. Mereka lebih suka mengurung diri di pesantren, dengan mengembangkan tarekat.
Unduh file selengkapnya disini
Unduh file selengkapnya disini
No comments:
Post a Comment
NO SARA NO SPAM. THANX