Rekontruksi Pendidikan Agama Sesuai Tuntutan Era Reformasi

Oleh : Dr. Sanapiah Faisal

Badai krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia semenjak pertengahan tahun 1997 lalu patut dijadikan pelajaran berharga. Klaim keberhasilan pembangunan ekonomi yang selama ini menjadi legitimasi orde baru ternyata semu belaka. Fundamental ekonomi nasional yang selama ini dikira kuat, ternyata kropos. Pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang selama ini dianggap mantap, ternyata rapuh dan gampang tumbang. Motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang selama ini diandalkan pada segelintir konglomerat dan pengusaha besar, ternyata malah mereka itu yang membuat sedemikian terpuruk dan dahsayatnya badai krisis ekonomi nasional.Transformasi structural ekonomi nasional menuju industrialisasi yang berbasiskan sumberdaya domestik (footlose industry), ternyata sedemikian gampang sekarat terkena badai krisis moneter, akibat ketergantungannya yang tinggi kepada komponen impor. Kehidupan masyarakat yang selama ini dikenal guyub, rukun, dan santun ternyata mudah diorat- arit dan dibuat lepas kendali sehingga tervipta berbagai rupa kerusuhan, perseteruan, penjarahan, hujat menghujat hingga baku bunuh, dam bahkan muncul suara-suara yang ingin melepaskan diri dari ikatan negara kesatuan Republik Indonesia. Yang berkembang bukan lagi semata-mata krisis moneter dan ekonomi, tetapi juga krisi politik, dan bahkan krisis sosial serta budaya.

Berbagai kenyataan tak sehat yang sedemikian itu tak lepas dari akibat sentralisasi kekuasaan yang dibangun sedemikian dahsyat selama rezim Orde  Baru sehingga melahirkan penyalahgunaan kekuasaan yang dahsyat pula. Persis seperti sinyalemen klasik Lord Acton yang menyatakan : Power tend to corrupt. Absolute Power, corrupts absolutely. Suatu kekuasaan akan cenderung korup atau disalahgunakan. Suatu kekuasaan yang mutlak, akan korup atau disalahgunakan secara mutlak pula. Di situ berlangsung apa yang oleh Herbert Spencer disebut Darwinisme Sosial yang liar, dimana yang lemah akan merana, “disantap”, dipinggirkan, atau “dibodohi” oleh mereka yang kuat (memiliki kekuatan atau power”, apakah dibidang politik, ekonomi, ataukah dalam penguasaan ilmu pengetahuan ).
Itulah yang terjadi secara masif selama rezim Orde Baru sehingga wajar bila supremasi hukum tidak jalan, tertib hukum berlangsung tidak tertib, hasil pembangunan  hanya dinikmati secara optimal oleh segelintir orang, muncul berbagai rupa “bid’ah politi” (termasuk Dwi Fungsi ABRI, mono loyalitas, azaz tunggal, P4, kebijakan NKK – BKK, dan banyak lagi yang lainnya ) untuk menjinakkan serta membodohi rakyat (termasuk berbagai kekuatan sosial, Politik, dan ekonomi dalam masyarakat), dan budaya KKN merajalela di mana-mana, di tingkat pusat maupun daerah. Kenyataan (“hukum rimnba” dan “lupa darata”) demikian itulah yang melahirkan gerakan reformasi, yang secara gencar menuntut reformasi politik, ekonomi, dan hukum.

Tuntutan Essensial Era Reformasi

Bila menggunakan idiom-idiom agama (Islam),  Secara lugas bisa dinyatakan bahwa era reformasi pada hakikatnya menuntut penciptaan tatanan masyarakat utama (khoiratul ummah) yang bebas dari kemusyrikan, kezaliman, kemungkaran, dan kejahiliaa; relatif sering dengan ide dasar masyarakat madani (civil society) yang popular belakangan ini, tetapi secara konseptual sangat jauh berbeda sandaran moralnya. Dengan reformasi yang menyeluruh, masyarakat diharapkan terbebas dari perbuatan primitif rendah (biadap) yang menyekutukan Tuhan dengan berbagai rupa berhala baru (“kekuasaan”,  “harta benda”, “kepentingan farokiah”) tanpa mempedulikan nilai-nilai spiritualitas yang suci dan luhur (secara kaffah) sebagai manifestasi dari akhlaaqul kariimah, bukan sekedar formalisme dan simbolik yang kehilangan makna kebasmalaannya sesuai etika kekhalifahan di muka bumi yang pengasih, penyayang dan rahmatan lil”aalamiin.

Dengan begitu. Diharapkan terkikis habis penyakit Darwinisme sosial liar yang condong menyalahgunakan kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki (semau gue) tanpa menghiraukan prinsip-prinsip moral menjunjung tinggi nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan yang universal. Diharapkan tidak ada lagi segala bentuk otoriterianisme, apakah berwujut kediktaran di bidang politik, monopoli di bidang ekonomi, ataukan pemborongan kebenaran di bidang edeologi maupun ilmu pengetahuan. Sebab bila hal-hal tadi masih dibiarkan membudaya, maka praktik depolitisasi dan pembodohan masyarakat, dehumanisasi dan pelanggran HAM akan tetap berlangsung secara tak terelakkan (secara terang-terangan ataukah tersamar) sebagaimana yang terjadi di era kepemimpinan jenderal suharto; akibatnya akan berujung pada munculnya generasi bangsa yang static, patalistik, mandul kreativitas, bermental ABS, dan lama kelamaan (Akhirnya) bisa tumbuh menjadi bangsa yang kehilangan perspektif tentang mana yang benar dan mana yang salah, mana yang terpuji dan mana yang tercela, mana yang adil dan mana yang zalim, mana yang siraatul mustaqien dan mana yang siraatut toughut sebagaimana di zaman masyarakat jahiliah. Dan, cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, serta demokrasi politik dan demokrasi ekonomi menjadi jauh dari kenyataan.

Unduh file lengkap di sini.

No comments:

Post a Comment

NO SARA NO SPAM. THANX