Sebuah upaya menformulasikan pendekatan kontekstual atas hadis Nabi SAW
Artikel ini masih kelanjutan artikel tadi pagi yang berjudul "Pemahaman Tekstual Dan Kontekstual Atas Hadis Dalam Sejarah". Ketika para ulama hadis menetapkan lima syarat bagi sahih-nya sebuah hadis, hal itu menunjukkan betapa telitinya mereka dalam menyeleksi hadis Nabi saw. Kelima syarat tersebut diantaranya tiga berkenaan dengan sanad dan dua berkenaan dengan matn. Yang berkaitan dengan sanad, disamping sanad harus bersambung, semua perawinya harus dhabith dan tsiqqat. Sedangkan yang berkaitan dengan matn, adalah keharusan tidak adanya syadz dan ‘illat. Seleksi tersebut dilakukan dengan maksud mencari hadis yang dipandang sahih untuk dapat diamalkan (ma’mul bih) dan menyisihkan yang lain yang tidak dapat diamalkan (ghayr ma’mul bih). Dari seleksi-seleksi tersebut muncullah kategori-kategori hadis shahih, hasan, dha’if, dan seterusnya. Dan ketika kita mempersoalkan suatu hadis, maka yang kita persoalkan semata-mata hanyalah hadis yang tidak mutawatir, sebab, terhadap hadis kategori ini, sudah terdapat kesepakatan bahwa ia ma’mul bih.
Pengujian terhadap syarat yang berkaitan dengan sanad telkah dilakukan sejak awal dengan cara meneliti kredibilitas para perowi, sehingga muncullah cabang ilmu hadis yang disebut dengan al-Jahr wa al-Ta’dil. Yakni persyaratan bagi seorang perowi dalam kaitannya dengan diterima atau tidaknya hadis yang diriwayatkannya. Al-Jahr mengandung pengertian yang berkaitan dengan cacat-cacat seorang perawi yang karena itu hadisnya ditolak, sedangkan al-Ta’dil mengandung pengertian yang berkaitan dengan ‘adalat al-rawiy, yang dengan itu hadisnya diterima.
Di kalangan sunni, al-jahr wa al-Ta’dil dilakukan pada lapisan (thabaqat) tabi’in di bawah sahabat terus ke bawah. Artinya, keadilan para sahabat dalam meriwayatkan hadis tidak perlu dipersoalkan. Ini hendaknya tidak disalahpahami sebagai, bahwa kalangan Sunni menganggap para sahabat adalah orang-orang yang ma’sum (terbebas dari dosa), melainkan sekedar keyakinan bahwa dalam meriwayatkan hadis, mereka (para sahabat) tidak pernah bermaksud membuat pendustaan kepada Nabi atau berkeinginan menikam Nabi Saw., itu pun dalam kedudukannya beliau sebagai Rasul. (Nurcholis, 1984: 41) Sementara itu, kalangan Syi’ah memberlakukan al-jahr wa al-ta’dil pada lapisan di bawah Imam. Sebab, bagi kalangan Syi’ah, para Imam diyakini sebagai ma’shum.
Tarjih dan ta’dil, rasanya sudah selesai dilakukan, dalam pengertian bahwa kredibilitas para perowi telah dibukukan secara baik oleh para ahli hadis. Kita sungguh berutang budi kepada para ulama penyusun kitab-kitab semacam mizan al-I’tidal dan Tahdzib al-tahdzib, karena melalui kitab-kitab semacam itu kita dapat melacak kredibiliitas para perawi hadis. Tetapi, yang berkaitan dengan matn, sungguhpun telah dirintis oleh para sahabat generasi pertama, tampaknya belum dilanjutkan secara sungguh-sungguh. Selama ini, kriteria sahihnya sebuah hadis, masih ditentukan oleh kesahihan sanad-nya. Al-Bukhari sendiri, memaksudkan sahih di situ adalah sahih sanad-nya. Ini terlihat dengan jelas bila kita memperhatikan keseluruhan judul yang diberikan kepada kitab sahihnya, yakni al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtashar min ‘Umar Rasulillah (saw) wa Sunanih wa Ayyamih. (Ajjaj al-Khatib, t.t.:313). Dalam judul; tersebut tertera secara jelas kalimat alJami’ al-Shahih al-Musnad (himpunan hadis yang sahih sanadnya). Sayangnya, dewasa ini sepertinya ada anggapan bahwa penyeleksian yang dilakukan al-Bukhari atas hadis-hadis yang dimuat dalam kitabnya, sudah mencakup sanad dan matn. Sehingga melakukan kritik atas hadis, khususnya yang terdapat dalam al-Bukhari, seakan merupakan hal yang tabu.
Demikian, bila pengujian terhadapmatn belum dilakukan, maka kesahihan sanad belum menjamin kesahihan matn. Bahkan yang sahih sanad dan matan-nya pun kadang-kadang dapat pula tidak ma’mul bih. Hadis yang menyatakan bahwa pemimpin itu harus dari kalangan Quraisy (al-a-‘immat min quraisy), adalah hadis yang termasuk kategori seperti itu. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam shahih-nya, dari ibnu umar (Juz II:265, dan Juz IV:234), dengan kategori shahih. Dilihat dari derajat kesahihannya, hadis tersebut jelas dapat diterima (ma’mul bih). Tetapi, bila pendfekatan kontekstual dilakukan terhadapnya, maka ia dapat tertolak (ghyr ma’mul bih), minimal dengan dua alasan. Alasan pertama, karena ia bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an yang menyatakan tidak adanya diskriminasi dalam islam, dan bahwasanya nilai seseorang bukan ditentukan oleh kesukuan , melainkan oleh ketaqwaannya. Untuk masa Rasulullah hingga Abbasiyah mungkin hadis tersebut ma’mul bih Tetapi, ini merupakan alasan kedua, untuk masa sesudahnya, khususnya untuk masa sekarang ini, dan lebih khusus lagi Indonesia, hadis tersebut jelas tidak ma’mul bih.
Dengan demikian hadis diatas, dan hadis-hadis lainnya, harus dikaji secara kontekstual dengan melihat kondisi dan situasi saat ia diucapkan, dan apa pula ‘illat yang terkandung di dalamnya. Berdasar kenyataan seperti itu, muncul pertanyaan, apakah suatu hadis yang dulu ma’mul bih dapat berubah menjadi ghayr ma’mul bih. Dari pendekatan tekstual, jawabannya harus “ya”. Tetapi, dari pendekatan kontekstual, “tidak”. Sebab, selain melihat kondisi dan situasi saat hadis itu diucapkan, pendekatan tersebut menekankan pada ‘illat. Artinya, sepanjang yang dimaksud dengan Quraisy di situ bukan berarti suku, tetapi sifat atau ciri, maka ia dapat tetap ma’mul bih. Pemahaman yang tersebut terakhir ini, antara lain, dilakukan oleh Ibnu Khaldun.
Terdapat banyak hadis yang, dari segi sanad, termasuk kategori sohih, tetapi dari segi matn bertentangan dengan al-Qur’an, maka orang-orang seperti Ahmad amin, Abu Rayyah menolaknya. Bahkan Muhammad al-Ghazali, dalam buku terbarunya, al-Sunnah al-Nabawiyyah Bain ahl al-Fiqh wa ahl-al-Hadits, mengatakan bahwa betapapun sahihnya sanad suatu hadis, sepanjang matan-nya bertentangan dengan al-Qur’an ia tidak ada artinya. (M.al-Baqir, 1991:26).
Dalam buku terbarunya itu, Muhammad al-Ghazali mempersoalkan banyak hadis yang dipandangnya bertentangan dengan al-Qur’an dan secara sengit mengecam keras orang-orang yang memahami dan mengamalkannya secara tekstual. Sebagaimana para pendahulunya, Muhammad al-Ghazali menggunakan kaidah tersebut di atas sebagai tolok ukur pengujian kesahihan suatu hadis.
Keasahihan suatu hadis memang tidak dapat ditentukan hanya oleh kesahihan sanad-nya saja. Tetapi matn-nya pun mesti diteliti, guna memastikan apakah ia tidak syadz dan tidak mengandung ‘illat´(cacat)—suatu penelitian sungguhpun cukup sulit dilakukan. Pertama-tama matn-nya harus dibandingkan dengan matn yang senada yang terdapat dalam sanad-sanad lainnya. Bila ternyata ia merupakan satu-satunya hadis yang menggunakan matn yang berbeda, ia jelas merupakan hadis yang syadz. Kemudian, bila kandungan isinya bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis-hadis lain yang senada, ia dinyatakan ber-‘illat. Langkah pertama, seperti yang tadi dikemukakan, cukup sulit, yang karena itulah, agaknya, orang orang seperti Ahmad Amin, Abu Rayyah, dan Muhammad al-Ghazali menggunakan langkah kedua, dan sekaligus menjadikannya sebagai salah satu kaidah dalam menentukan kesahihan sebuah hadis. Dengan demikian, kritik matn merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi kontekstual atas hadis.
Kritik atas matn sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru. ‘A’isyah, ‘Umar bin al-Khattab, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Utsman bin Affan, dan para sahabat besar lainnya, telah melakukan kritik matan atas hadis-hadis, misalnya, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Bahkan Mustafa Shadiq al-Rafi’I, sebagaimana yang dikutip Abu Rayyah (1980:177), menyebut bahwa kritik para sahabat atas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah merupakan kritik atas hadis yang pertama dilakukan dalam Islam.
Dalam melakukan pengujian atau kritik atas hadis yang diriwayatkan oleh seseorang, ‘A’isyah acap kali membandingkan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Bila hadis tersebut bertentangan dengan al-Qur’an, ia segera menolaknya. ‘A’isyah menolak hadis yang diriwayatkan oleh ‘Umar dan Ibnu ‘Umar yang mengatakan bahwa, “mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya”, lantaran hadis ini dianggapnya bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang berbunyi, “wa laa taziruu waaziratu ukhra”.
Mengikuti jejak ‘A’isyah, Muhammad al-Ghazali juga mempersoalkan banyak hadis yang dianggapnya bertentangan dengan al-Qur’an, yang diamalkan secara tekstual oleh sementara kaum Muslimin, khususnya kaum muda. Quraish Shihab, pemberi pengantar edisi Indonesia buku Muhammad al-Ghazali di atas, seakan menganggap kaidah tersebut sebagai kaidah satu-satunya yang digunakan oleh al-Ghazali. Quraish Shihab, mungkin, mengharapkan bahwa dalam menilai matan suatu hadis, hendaknya—disamping membandingkannya dengan al-Qur’an—diterapkan pula kaidah-kaidah ushul fiqh. Sebab, boleh jadi kandungan hadis tersebut merupakan pen-takhsis-an (pengecualian) atas kandungan al-Qur’an, atau rincian atas yang mujmal.
Sikap para ulama di atas, lazimnya segera dituding sebagai inkar al-sunnah. Masih segar dalam ingatan kita betapa buku Abu Rayyah mendapat reaksi keras dari kalangan ulama pada masanya. Sementara itu, buku Muhammad al-Ghazali yang mengalami cetak ulang sampai enam kali itu, sebagaimana yang dikatakan sendiri oleh penulisnya, mendapat reaksi pro kontra. Eloknya, baik Abu Rayyah maupun al-Ghazali, menyatakan bahwa apa yang dilakukan itu merupakan bagian dari pembelaan terhadap hadis. Abu Rayyah, misalnya memberi judul bukunya Adhwa ‘ala al-sunnah al-Muhammadiyyah (sorotan terhadap sunnah Nabi Muhammad), dan di bawahnya dia berikan sub judul yang berbunyi Aw Difa’ ‘an al-hadits (atau pembelaan terhadap hadis).
Pemahaman terhadap hadis Nabi saw., acap kali memang tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan pendekatan tekstual. Kondisi dan situasi saat hadis tersebut disampaikan oleh nabi, dan juga kondisi para sahabat yang berbeda-beda, mesti pula diperhatikan. Sebab, dalam kehidupan Islam dan kaum Muslimin, posisi Nabi memiliki banyak fungsi: sebagai rasul, panglima perang, suami, sahabat, dan lain-lain. Dengan demikian, hadis-hadis tersebut tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan fungsi-fungsi itu. Menurut mahmud syaltut (1966: 513), mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi dengan mengaitkan pada fungsi beliau tatkala melakukan hal-hal itu sangat besar manfaatnya.
Ketika aqidah umat dipandang belum kuat, Nabi saw., misalnya, melakukan pelarangan atas ziarah kubur melalui hadisnya. Tetapi, ketika aqidah mereka sudah kuat, larangan itu kemudian ia cabut. Rasanya, sikap Nabi saw. yang seperti itu mengisyaratkan kepada kita akan adanya pendekatan kontekstual atas hadis beliau. Namun, ketika yang digunakan adalah pendekatan tekstual, maka hasilnya adalah kesimpulan bahwa di situ terdapat nasikh dan mansukh. Bagi saya, pada kedua hadis tersebut tidak ada nasikh dan mansukh. Sebab, bagi siapa saja yang akidahnya masih lemah, dan dapat musyrik karena ziarah kubur, hadis pertama tetap berlaku baginya. Adapun musyrik itu sendiri, sudah jelas tidak perlu dipersoalkan.
Contoh lain adalah hadis yang berkaitan dengan keharusan berbakti pada ibu tiga kali lipat dibanding kepada ayah. Kalu hadis ini dipahami secara tekstual saja, maka muncul diskriminasi dalam berbakti kepada ibu dan ayah. Kalau yang dijadikan alasan bagi keharusan berbakti kepada ibu tiga kali lipat dari pada kepada ayah adalah karena ibu menentang maut saat melahirkan putranya, maka dalam mencari nafkah pun seorang ayah, banyak sekali menentang maut dalam perjalanannya. Bahkan Nabi sendiri menyetarakan mencari nafkah untuk anak dan istri dengan jihad fi sabiilillah.
Terhadap hadis seperti tersebut di atas, kita mesti melakukan kajian kontekstual dengan mengkaji kondisi dan situasi pada zaman Nabi. Saat itu kaum wanita masih kurang memperoleh hak-haknya, dan bahkan tertindas akibat warisan-warisan jahiliyah yang melekat dalam tradisi bangsa Arab. Untuk mengangkat derajat mereka, maka nabi menyampaikan hadisnya yang seperti itu.
Sumber : makalah "Pemahaman Kontekstual Atas Hadis Nabi SAW. (Sebuah Studi Tentang Kritik Matan Hadis)"
No comments:
Post a Comment
NO SARA NO SPAM. THANX