Latar Belakang Sejarah Berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Setelah kemarin saya memposting artikel tentang pemikiran budaya Ir. Sukarno yang saya ambil dari skripsi milik Bung Shodiq Purnomo (STAIN Malang), dan foto-foto unik Bung Karno, biar ada variasi lain, kali ini saya ingin berbagi tentang latar belakang sejarah berdirinya keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang saya ambil dari sebuah skripsi milik Dwi Retno Mulianingsih (Universitas Negeri Semarang) yang dulu pernah saya dapatkan entah dimana. Maksud saya membagikan ini bukan karena saya ingin mengangkangi hak karya ilmiah orang lain terus saya akui menjadi karya saya sendiri, tetapi saya cuma ingin agar isi skripsi itu juga bisa dibaca dan bermanfaat bagi masyarakat luas, dan saya kira beliau juga tidak ingin kalau karya ilmiahnya cuma dijadikan pajangan di perpustakaan universitas tanpa pernah sekalipun disentuh orang. :D


Latar Belakang Sejarah Berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Keraton Ngayogyakarta
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan atas dasar perjanjian Giyanti yang ditandatangani oleh Sunan Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi dipihak lain serta Nicolas Harting pada tangga l 29 Rabiulakhir 1680 Jawa 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut mengakhiri perang saudara antara Pangeran Mangkubumi dengan Sunan Pakubuwono III. Menurut Perjanjian Giyanti, wilayah Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua : Pangeran Mangkubumi menjadi raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I Senopati Ing Alaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ing Ngayogyakarta. Sementara sebagian wilayah lain tetap dikuasai oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III dengan Ibukota Kerajaan Surakarta.

Keraton Yogyakarta mempunyai luas wilayah 87.050 km2 dan meliputi daerah Mataram asli seperti Kedu, Bagelan, Banjarnegara, sebagian Pajang, Pacitan, Madiun, Grobogan, dan Mojokerto. Semula tempat yang dipilih untuk mendirikan Keraton adalah desa Telogo, dimana baginda pernah mendirikan pesanggrahan yang diberi nama Ngambar Ketawang, tetapi kemudian baginda memutuskan untuk mendirikan Keraton di Hutan Garjitawati, dekat Desa Beringin dan Desa Pacetokan. Dengan alasan daerah ini dianggap kurang memadai untuk membangun sebuah Keraton dengan bentengnya, maka aliran sungai Code dibelokkan sedikit ke timur dan aliran sungai Winanga sedikit dibelokkan ke barat.

Menurut cerita mitos, hutan Beringin tersebut dijaga dua ekor ular naga, yaitu bernama kiai Jaga dan kiai Jegot. Maka setelah Keraton Yogyakarta berdiri, kiai Jaga kemudian bertempat tinggal pada bangunan tugu, sedang kiai Jegot bersemayam pada bangsal Proboyekso Keraton Yogyakarta.

Hutan Beringin yang dipilih oleh Sultan merupakan tempat bersejarah karena di daerah itu pada tahun 1747 dan tahun 1749 Kanjeng Pangeran Haryo Mangkubumi dihadapan rakyat mengumumkan penobatan dirinya sebagai Susuhunan ing Mataram. Baginda menetapkan tempat itu untuk didirikan Keraton dan menjadi Ibukota yang kem udian diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dari latar belakang perkembangan yang selintas diceritakan di atas, tampak adanya berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan tempat di Hutan Beringin itu sehingga menjadi pangkal pertumbuhan kota Yogyakarta. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tersebut meliputi faktor sejarah, keagamaan, pengalaman pribadi Mangkubumi sendiri, dan adanya unsur asing yang datang yaitu VOC yang dikemudian hari bertambah dengan pengaruh pemerintahan Inggris diawal abad ke-19.

Pembuatan Keraton Yogyakarta selesai pada tahun 1682 Jawa dan ditandai dengan sengkalan memet (condrosengkolo memet) dipintu Gerbang Kemagangan dan pintu gerbang Gedung Mlati, berupa dua ekor naga berlilitan satu sama lainnya. Dalam bahasa Jawa : Dwi naga rasa tunggal. Artinya, Dwi : 2, naga : 8, rasa : 6, tunggal : 1. Dibaca dari belakang : 1682. Naga berwarna hijau memiliki makna tersendiri yaitu simbol dari pengharapan. Pembangunan Keraton Yogyakarta kemudian diikuti dengan pembuatan benteng keliling sebagai batas wilayah ibukota kerajaan dan pembuatan masjid Agung.
Sri Sultan HB I

Arsitek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ialah Sri Sultan Hamengkubuwono I. Keahlian sebagai arsitek bangunan sudah dimiliki sejak masih muda, baginda bergelar Pangeran Mangkubumi Sukowati. Menurut Pigeund dan Adam dimajalah tahun 1940 (1978 : 7) : Sri Sultan Hamengkubuwono I mendapat julukan de bowmeester van zijn broer Sunan Pakubuwono II (arsitek dari kakanda Sri Sunan Pakubuwono II). Beliau membuat arsitektur Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang arsitekturnya ada kemiripannya dengan arsitektur Kasunanan Surakarta.

Satu hal yang membedakan adalah bagian utama dari bagian-bagian penting di Keraton Kasultanan Yogyakarta dibuat lebih megah dan memberi kesan yang lebih berwibawa daripada Kasunanan Surakarta. Keraton Yogyakarta yang berlatar belakang budaya Islam pada bangunannya banyak dijumpai unsur-unsur kebudayaan Hindu. Pola dasar pendiri an bangunan pada komplek Keraton Yogyakarta menggunakan unsur kebudayaan Hindu, ini tampaknya memang begitu menonjol di dalam proses akulturasi dengan kebudayaan yang sedang berkembang di Keraton Yogyakarta yang pada dasarnya bernafaskan Islam. Tata letak maupun pengelompokan bangunan pada komplek Keraton Yogyakarta mempunyai kesamaan dengan sistem yang digunakan pada komplek Keraton dari periode Hindu.

Bentuk-bentuk bangunan yang terdapat di komplek Keraton Yogyakarta mirip sekali dengan bentuk bangunan kontruksi kayu yang terdapat dalam relief candi, yang tentunya menggambarkan bangunan yang digunakan oleh masyarakat pada periode klasik. Beberapa hiasan dengan motif flora, fauna, ataupun alam banyak dijumpai pada  bangunan dalam komplek Keraton Yogyakarta, antara lain pada gapura,  atap bangunan, tiang, umpak, baturana dan sebagainya. Hiasan-hiasan tersebut merupakan pengisi bidang dan hiasan yang mempunyai arti tertentu. Oleh karena itu, jelaslah bahwa unsur-unsur kebudayaan Hindu masih tampak pada komplek bangunan Keraton Yogyakarta yang kemudian berakulturasi dengan kebudayaan yang sedang berkembang. 

Adapun bentuk fisik bangunan yang terdapat dalam komplek Keraton Yogyakarta sebagian besar menggambarkan bentuk rumah tradisional Jawa dan sebagian diantaranya menggunakan konstruksi kayu. Bangunan-bangunan tersebut menggunakan atap tunggal (atap susun) yang berbentuk limasan, tajug, kampung (pelana) dan joglo. Bagian  tubuh bangunan ada dua bentuk, yaitu merupakan bangunan terbuka (tanpa dinding penutup ruangan)  dan merupakan bangunan yang menggunakan dinding penutup tubuh. Di dalam Keraton Yogyakarta terdapat banyak bangunan, halaman, dan lapangan. Komplek Keraton terletak di tengah-tengah, tetapi daerah Keraton membentang dari sungai Code sampai sungai Winanga, dari utara ke selatan, dari Tugu sampai Krapyak. 
Denah lokasi keraton Ngayogyakarta

Tujuh buah halaman yang terdapat dalam komplek Keraton disusun berderet dari utara dan selatan. Antara  halaman yang satu dengan halaman yang lain dipisahkan oleh dinding penyekat dan dihubungkan dengan pintu gerbang. Ketujuh buah halaman tersebut masing-masing berisi bangunan dan nama-nama halaman kebanyakan disesuaikan dengan nama bangunan yang terdapat didalamnya. 

Adapun halaman yang terdapat  di Keraton Yogyakarta, antara lain :

1.   Halaman sitihinggil utara
2.   Halaman kemandungan utara
3.   Halaman srimanganti
4.   Halaman pusat Keraton Yogyakarta
5.   Halaman kemagangan
6.   Halaman kemandungan selatan
7.   Halaman sitihinggil selatan
Keraton Yogyakarta merupakan komplek bangunan pusat pemerintahanan Kerajaan yang terletak di pusat ibu kota Kasultanan Yogyakarta. Membicarakan komplek bangunan Keraton Yogyakarta sebagai pusat Kerajaan, tidak dapat terlepas dari unsur-unsur bangunan  yang terdapat dilingkungan komplek Keraton, diantaranya benteng, parit  keliling, alun-alun, masjid Agung, dan komplek Tamansari. 

Unsur-unsur bangunan pada komplek Keraton :

1.   Benteng 

Benteng Keraton Ngayogyakarta
Benteng yang mengelilingi ibu kota Kerajaan disebut benteng Baluwarti, didirikan tahun 1782  Masehi. Di dalam benteng, selain istana Sri Sultan dan komplek Tamansari dijumpai pula  bangunan-bangunan, diantaranya tempat tinggal para bangsawan, tempat tingga l Abdi Dalem dan tempat tinggal kelompok prajurit Keraton. Bekas-bekas bangunan yang sekarang masih utuh adalah dinding sisi selatan, bagian sudut tenggara, sudut barat daya dan sudut barat laut. Dilihat dari bekas-bekasnya, benteng pertahanan kota ini mempunyai denah segi empat, tiap-tiap sisinya menghadap kearah empat mata angin utama. Pada sisi utara terdapat dua buah gapura (plengkung), sedang pada sisi timur, selatan, dan barat masing-masing terdapat sebuah gapura (plengkung). Pada tiap-tiap sudutnya terdapat gardu pengintai yang disebut tulak tala ( bastion ) dan sekarang yang masih utuh adalah bagian sudut tenggara, barat daya dan barat laut, sedangkan bagian timur laut sudah tidak ada. 

2.   Parit Keliling

Parit yang disebut dengan jaga ng merupakan saluran air yang mengelilingi pusat kota Yogyakarta  kuno. Parit keliling ini terdapat disepanjang dinding benteng bagian luar  dan berdenah segi empat. Panjang parit sama dengan panjang dinding be nteng, yaitu tiap sisinya lebih kurang satu kilometer. 

3.   Alun-alun

Alun-alun Ngayogyakarta
Alun-alun adalah tanah la pang yang terdapat di  depan dan di belakang komplek Keraton, yang di depan disebut alun-alun ut ara, sedangkan yang di belakang disebut alun-alun Pangkeran.  Alun-alun selatan berfungsi sebagai tempat latihan baris-berbaris para prajurit untuk persiapan upacara kerajaan, tempat upacara pemberangkatan jenazah dan sebagainya. 

4.   Masjid Agung

Masjid Agung Ngayogyakarta
Bangunan masjid ini terdiri atas dua bagian. Pertama, bagian masjid yang merupakan bagian utama yang di bangun pada tahun 1773 semasa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I, raja pertama Kerajaan Mataram
Yogyakarta, sedangkan bagian kedua  adalah serambi yang dibangun pada tahun 1775 juga atas prakarsa Hamengkubuwono I. Bangunan masjid Agung kondisinya masih baik dan sampai saat ini masih dipergunakan sebagai tempat ibadah sholat dan upacara-upacara yang berhubungan dengan agama Islam. Bentuk bangunan masjid Agung berbentuk tajug ceblokan, yaitu bangunan dengan atap berbentuk tajug disangga oleh beberapa tiang yang langsung berdiri di  atas lantai bangunan, tanpa umpak. Atap bangunan terdiri dari tiga tingkat (atap tumpang) yang disangga oleh 36 tiang, empat buah diantaranya adalah tia ng saka guru (guru utama). Bangunan berdiri di atas lantai yang berdenah bujur sangkar denga n ukuran 27,5 X 27,5 meter dan tebalnya 1,5 meter. Di samping kiri dan kanan bangunan terdapat serambi samping yang disebut  pawestren,  yaitu sebagai tempat bersembahyang bagi kaum wanita. Pada  puncak atap masjid terdapat hiasan kamuncak yang disebut  mustaka. Di bagian depan masjid terdapat serambi yang luas dan bersuasana teduh, sedangkan di halaman masjid terdapat bangunan yang di sebut pagongan, tempat untuk menyimpan gamelan Sekaten yang digunakan sejak berabad-abad lamanya untuk mengumpulkan masyarakat sekitar. Masjid Agung Yogyakarta memiliki perpaduan arsitektur bernafaskan Islam dan Jawa. Dibeberapa bagian masjid terdapat ukiran kayu dan tulisan aksara Jawa.

5. Tamansari

Taman Sari Ngayogyakarta
Tamansari adalah sebuah komplek yang berisi bangunan, kolam, kebun, dan taman. Tamansari didirikan  tahun 1765 Masehi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I. Adapun fungsi Tamansari  sebagai tempat berekreasi, bercengkrama atau bersenang-senang Sri Sultan dengan seluruh keluarganya. Peninggalan-peninggalan di dalam komplek Tamansari dapat dikategorikan berupa gapura, gedung, kolam-kolam kecil, urung-urung dan kolam segaran.

Sumber : Skripsi "Peranan Abdi Dalem  Dalam Pelaksanaan Tradisi Sekaten Pada Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono Ix – Sri Sultan Hamengkubuwono X Di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat"
Foto : dari berbagai web dan blog
 

2 comments:

NO SARA NO SPAM. THANX