Pemahaman Kontekstual Atas Hadis Nabi SAW


pemahaman kontekstual hadis nabi
Pemahaman Kontekstual Atas Hadis Nabi SAW - Dalam kaitannya dengan sumber hukum Islam, terdapat perbedaan yang sangat besar antara al-Qur’an al-karim dengan hadis Nabi saw. Al-Qur’an bersifat qath’iy al-wurud, yang berarti bahwa al-Qur’an diyakini sepenuhnya oleh kaum muslimin tanpa kecuali, sebagai wahyu yang datang dari Allah. Sedangkan petunjuknya (dilalat-nya) sebagian ada yang qath’iy, yang kemudian lazim disebut sebagai ayat-ayat muhkamat, dan sebagaian ada yang dhanny, yang kemudian lebih dikenal dengan ayat-ayat mutasyabihat. Tidak ada kesepakan diantara ulama tentang berapa bagian dari seluruh ayat al-Qur’an yang termasuk dalam kategori ayat-ayat muhkamat, dan bagaimana pula kriteria suatu ayat disebut sebagai ayat muhkamat. Biasanya ayat-ayat qath’iy al-dalalat (muhkamat) diartikan sebagai ayat-ayat yang redaksi lahiriyahnya mengemuka-kan makna tertentu yang jelas dan tidak memberi peluang bagi munculnya interpretasi yang melahirkan pengertian yang berbeda. (Wahab Khallaf, 1972:35) Dengan demikian ijtihad tidak berlaku untuk ayat-ayat seperti ini. Berbeda dengan ayat-ayat mutasyabihat yang dimungkinkan terjadinya interpretasi yang bermacam-macam, sehingga diperlukan ijtihad dalam hal ini (Syathibi, t.t; 36-37).

Sementara itu, hadis Nabi saw. bersifat zhanniy, baik wurud maupun dilalat-nya. Artinya, betapapun juga shahihnya nilai suatu hadis, kepastiannya sebagai betul-betul diucapkan oleh Nabi saw. tetap zdanniy. Sebab setinggi-tinggi kepastian bahwa hadis tersebut disampaikan oleh Nabi, hanya akan sampai pada tingkat “ diduga kuat” disampaikan oleh Nabi. Oleh karena itu, jika meragukan Al- Qur’an sebagai wahyu yang datang dari Allah SWTdapat mengakibatkan seseorang menjadi kafir, maka meragukan hadis sebagai betul-betul diucapkan oleh Nabi tidak sampai berakibat seperti itu. Bahwa Rosulullah saw. adalah utusan Allah yang perintah serta laranganya mesti ditaati, adalah jelas, dan meragukan Muhammad sebagai Rasul Allah, sama kafirnya dengan meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah. Tetapi, mempersoalkan apakah suatu hadis dari dan betul-betul disabdakan oleh Nabi saw., adalah persoalan yang lain. Harus ada pembedaan secara jelas antara mengingkari Muhammad sebagai Rasul Allah, dengan meragukan apakah suatu hadis itu betul-betul berasal darinya. Bila mempersoalkan hadis yang berada dalam lingkaran yang kedua tadi dimaksudkan sebagai sebagai sikap kritis terhadap hadis, maka hal itu bukanlah merupakan suatu yang tabu. Sebab, sikap seperti itu sama sekali bukan hal yang baru dikalangan para pemikir Islam. Bahkan, sebagaimana yang akan kita lihat nanti sikap seperti itu sudah dirintis sejak awal oleh para sahabat generasi yang mula-mula.

Sebagi penjelas Al-Qur’an Al-Karim, hadis Nabi saw tentunya muncul sesuai dalam posisinya sebagai pedoman para sahabatnya di zamanya. Sepanjang kondisi dan latar belakang kehidupan para sahabat tersebut berbeda, maka petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Nabi pun berbeda pula. Sementara itu, para sahabat pun mengintepretasikan hadis Nabi sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing, sehingga kesimpulan yang dicapai pun berbeda pula. Bila pemahaman ini diterima, maka konsekuensinya adalah bahwa sebagian hadis Nabi saw. bersifat temporal dan konstektual. Hadis merupakan intepretasi Nabi saw. yang dimaksudkan untuk menjadi menjadi pedoman para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian, pengkajian terhadap konteks-konteks hadis, sesungguhnya merupakan aspek yang sangat penting dalam upaya kita menangkap makna suatu hadis, untuk kemudian kita amalkan. Sayangnya, pendekatan konstektual atas hadis Nabi saw. belum begitu memperoleh perhatian dari kaum muslimin.

====================== BERSAMBUNG ======================

No comments:

Post a Comment

NO SARA NO SPAM. THANX