Pemahaman tekstual dan kontekstual atas hadis dalam sejarah - Artikel ini merupakan lanjutan dari atikel sebelumnya yang berjudul "Pemahaman Kontekstual atas Hadis Nabi". Para sahabat generasi pertama menyandarkan fatwa-fatwa mereka pada nash-nash Al- Qur’an dan hadis Nabi saw. Bila mereka tidak menemukan sandaranya dalam Al- Qur’an dan hadis nabi saw., mereka melakukan Ijtihad dengan membuat analogi-analogi (Qiyas). Dalam medan yang tersebut terkemudian ini, digunakan pendekatan ra’yu (rasio) dengan berpegang pada prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Al-Quran dan hadis. Justifikasi bagi pendekatan rasional ini, lazimnya adalah hadis masyhur yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ketika ia diutus Nabi saw. ke Yaman.
Tiba pada masa sahabat generasi pertama, muncullah sekelompok orang yang memberikan fatwa-fatwa hanya dengan dasar Al-Qur’an dan hadis, tanpa mau melangkah lebih jauh dari itu. Perhatian besar mereka tertuju pada periwayatan hadis-hadis. Mereka adalah kelompok yang berpegang pada arti lahiriyah nash tanpa mencari illat yang terdapat pada masalah-masalah yang mereka hadapi. Pada masa yang relatif masih dekat dengan kehidupan Rosulullah saw. dan persoalan-persoalan belum begitu kompleks, sikap seperti ini dapat dipahami. Sebab, persoalan-persoalan yang timbul masih dapat ditampung oleh hadis-hadis Nabi saw. Tetapi, perkembangan selanjutnya, ketika kehidupan semakin kompleks, pencarian pemecahan dengan semata-mata mengandalkan pada hadis, bisa jadi tidak memadai lagi. Agaknya itu pulalah yang menjadi sebab mengapa hadis-hadis ahad memperoleh kedudukan yang sangat penting dikalangan kelompok ini.
Pendekatan rasional mereka jauhi dengan alasan bahwa Al-Qur’an itu mengandung kebenaran yang bersifat mutlak sedangkan kebenaran rasio adalah nisbi. Sesuatu yang nisbi tidak akan mungkian menjelaskan sesuatu yang mutlak. Karena keenganan mereka menggunakan akal inilah, maka ‘Ali Sami Al- Nassyar memberi julukan Ahl Hasyw kepada mereka, artinya orang yang berpikir gampang-gampangan lantaran mereka tidak mau menggunakan interpretasi rasional. (‘Ali Sami Al-Nasysyar, 1981;249-150)
Disamping mereka terdapat sekelompok orang yang memahami persoalan yang mereka hadapi secara rasional dengan tetap berpegang pada nash Al-Qur’an dan hadis. Berdasar prinsip-prinsip yang ada pada keduanya, mereka memberikan fatwa-fatwa mereka dalam berbagai persoalan. Karena itu, tak jarang mereka “mengorbankan” hadis ahad lantaran dipandang bertentangan dengan Al- Qur’an. Kelompok pertama disebut sebagai ahl Ahl- Hadis, sedangkan kelompok yang kedua disebut sebagai Ahl- AL-Ra’y (Nurcholis Madjid, 1995: 243). Mayoritas ulama Hijaz adalah Ahl Al-Hadis, Sedangkan mayoritas ulama Irak dan negeri-negeri yang jauh dari Hijaz adalah Ahl Al- Ra’y. Istilah Hijaziy dan Iraqiy mengacu pada dikotomi ini (Al-Dehlawiy, t.t.:147). dalam bidang fiqih, Mazhab Ahmad Bin Hanbal termasuk dalam kategori yang pertama, sedangkan mazhab yang lainya, dengan tekanan yang bervariasi, dapat digolongkan pada kelompok kedua. Pendekatan Ahmad bin Hanbal, dalam semua bidang, sangat tekstualis, sementara itu, Faruq Abu Zayd (1978:5 ) menyebut kelompok pertama sebagai al-muhafizhun (kaum ortodoks), sedang kelompok kedua sebagai al-mujaddidun (kaum pembaharu).
Dalam bidang teologi, ahl al-hadits pernah terlibat sengketa cukup sengit dengan kaum mu’tazilah yang diawali dengan peristiwa mihnat yang dilakukan penguasa Abbasyiyah di bawah al-Ma’mun. Dalam peristiwa itu, para ulama ahl al-hadits mendapat tekanan keras dari Mu’tazilah, sehingga beberapa orang ulama terkemuka mereka gugur sebagai syahid. Ahmad bin Hambal sendiri sempat dipenjarakkan dan didera hingga cedera tubuhnya. Mihnah yang dilancarkan oleh Mu’tazilah akhirnya ibarat bumerang yang menghantam diri mereka sendiri.
Melalui khalifah al-Mutawakkil, mihnat dilarang, dan sejak itu Mu’tazilah kehilangan pamornya, untuk kemudian digantikan oleh ahl al-hadits dengan Hanabilat pada barisan paling depan. Kelompok ini kemudian menjadi “penguasa” di tengah para penguasa Abbasyiyah, dan kini giliran mereka menekan kaum Mu’tazilah dan ahl Al-ra’y. Al-Kindy yang dianggap sebagai penganut Mu’tazilah termasuk orang yang mengalami tekanan dari ahl al-hadits (M.M.Sharif, ed. 1961:422).
Pada perkembangan berikutnya, para pengikut Ahmad bin Hambal menyebut diri sebagai penganut Salaf, dan Ibnu Taymiyah disebut-sebut sebagai tokoh kedua sesudah Ahmad bin Hambal yang membangkitkan kembali Salafisme dalam bentuknya yang lebih baru. Dewasa ini, mazhab ini dianut dengan lebih rigid oleh Wahabiyah di Saudi arabia, dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia islam melalui buku-buku yang mereka cetak dengan dana petro-dollar-nya.
============= BERSAMBUNG =============
No comments:
Post a Comment
NO SARA NO SPAM. THANX